Korek api merupakan alat yang menjadi bagian dari kenanganku saat dulu hingga sekarang. Dahulu aku tidak takut dengan korek api, sampai suatu hari aku mencoba menyalakan api. Api yang nyala mengenai tanganku dan menyebabkan tanganku melepuh. Semenjak itu, aku tidak mau lagi bermain atau memegang korek api kayu.
Setelah sekian lama aku tidak menggunakan korek api kayu, sekarang aku diwajibkan untuk menggunakan korek kayu karena resmi menjadi murid SMAKBO. Hari pertama bersekolah, aku langsung belajar di Laboratorium Gravimetri. Laboratorium ini digunakan untuk analisis sampel berdasarkan bobot.
Aku yang baru pertama kali mendengar hal itu sama sekali tak terbayang apa yang akan dilakukan di dalam laboratorium ini. Aku akan belajar di sini sebanyak 3 kali dalam 1 minggu karena pembelajaran menggunakan sistem blok. Hari pertama pembelajaran, aku dan teman kelas bersiap di depan laboratorium. Waktu menunjukkan pukul 7 dan pintu laboratorium terbuka.
Kak Gea keluar dari dalam dan memberikan arahan kepada aku dan teman kelas.“Selamat pagi semua, sekarang kalian masuk lalu berdiri di meja tengah” ujar Kak Gea dengan nada tegas. Kami semua masuk dan berdiri rapih di meja tengah. Kemudian Kak Gea memulai pembelajaran dengan berdoa lalu membacakan aturan yang harus dilaksanakan di dalam laboratorium ini.
Kami mendengarkan seluruh aturan yang dibacakan oleh Kak Gea. Setelah selesai membacakan aturan, Kak Gea memberi waktu kepada kami untuk melihat apa saja yang ada di dalam laboratorium ini.
“Kalian diberi waktu untuk melihat apa saja yang ada di dalam laboratorium ini. Kalian harus tetap kondusif, jangan berisik” ujar Kak Gea dan kami serentak menjawab “Baik kak”. Aku dan teman-teman langsung meyebar untuk melihat apa saja yang ada disitu. Aku mencatat beberapa informasi salah satunya adalah simbol-simbol bahaya yang tergantung di dinding. Hampir 20 menit kami berkeliling, terdengar suara Kak Gea yang menyuruh kami untuk kembali kumpul di meja tengah.
“Kalian sudah berkeliling di laboratorium ini. Kalian akan membuat laporan khusus pertama mengenai denah laboratorium dan jangan lupa besok kalian harus membawa korek api kayu” ujar Kak Gea. Mendengar hal itu, aku sedikit kaget karena mengingat pengalaman burukku dengan korek api kayu, tetapi aku harus tetap membawanya agar tidak terkena sanksi.
Keesokan harinya, aku datang pagi agar tidak terlambat kemudian bersiap-siap di depan loker coklat tempatku menaruh barang. Tak lupa aku keluarkan korek api kayu dari dalam tas dan aku simpan di dalam saku jas labku. Tepat jam 7 pagi, kami sekelas masuk ke dalam laboratorium, di depan meja tengah sudah ada Ibu Nina dan Kak Gea. Kami berdoa terlebih dahulu lalu Kak Gea membagi kami berpasangan, yang nantinya akan menjadi partner selama praktikum di sini.
Setelah pembagian partner selesai, selanjutnya adalah pembagian posisi meja kerja. Aku dan 3 temanku berada di meja 3 deret 2. Aku langsung menuju meja 3 dan berdiri di depannya. Baru beberapa menit berdiri, Ibu Nina datang ke meja 3 kemudian memulai pembelajaran.
“Anak-anak, kalian hari ini akan belajar bagaimana cara menggunakan teklu dan mekker. Sekarang ambil teklu dan mekkernya di kardus bawah ruang asam ya” perintah Ibu Nina. Anggota meja 3 semuanya mengambil teklu dan mekker kemudian dipasang di meja kerja masing-masing.
Setelah dipasang, Ibu Nina menyuruh kami untuk mengeluarkan korek api kayu untuk menyalakannya. Mendengar itu, aku mulai takut dan gelisah karena aku tidak bisa menyalakan api dari korek api kayu.
“Ayo semuanya mulai nyalakan api di teklu ya, atur supaya apinya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil” perintah Ibu Nina. Ketiga temanku sudah mulai menyalakan teklu, tetapi aku hanya terdiam dan panik karena tidak berani menggunakan korek api kayu. Melihat aku yang terdiam sambil sesekali tengok kanan kiri, Ibu Nina datang menghampiriku.
“Nana, kamu kenapa diam saja? Teman-teman yang lain sudah mulai menyalakan teklu” tanya Ibu Nina.
“Maaf bu, saya takut untuk menggunakan korek api ini karena dulu saya punya pengalaman buruk dengan korek api ” jawabku.
“Ayo kamu coba, harus sampai bisa” jawab Bu Nina.
Melihat itu, teman samping kananku yaitu Nisa menepuk pundakku dan memberikan semangat. Aku memberanikan untuk menyalakan api dari korek. Setiap api sudah tersulut aku terus mematikannya karena aku takut api akan mengenai tanganku dan membuat tanganku melepuh.
Karena terlalu lama, Ibu Nina memaggil lagi namaku dan berbicara “Nana, masih belum bisa juga? ibu akan tunggu kamu sampai bisa dan sampai magribpun akan ibu tunggu”. Mendengar hal itu, perasaanku semakin kacau, aku tak tau harus apa karena disatu sisi aku merasa takut tetapi di sisi lain aku tidak enak dengan Ibu Nina dan teman sederetku.
Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba lagi dan lagi. Sampai saat batang korek ke 8, aku baru bisa menyalakan apinya. Setelah berhasil, hatiku lega sekali rasanya.
“Itu kamu bisa, tidak terjadi apa-apa dengan tanganmu kan” ujar Bu Nina. Aku hanya tersenyum dan menjawab “Tidak Bu, tangan saya baik-baik saja”. Temanku Nisa menepuk pundakku dan berkata “Jangan takut lagi ya”, “Iya, terima kasih Nisa” kataku membalas ucapannya.
Kejadian ini membuat aku tidak takut lagi dengan korek api kayu, dan kalau kalian bertanya “Kamu sudah bisa nyalakan api dari korek api kayu?” aku dengan bangga akan menjawab “Ya, aku sudah bisa”. Aku tidak akan malu karena aku merasa bangga bisa melawan rasa takutku dan berhasil melewati salah satu ketakutan yang aku alami selama ini.
Korek api kayu sekarang tidak lagi menjadi kenangan yang buruk bagiku karena sekarang aku sudah bisa menggunakan korek api dengan baik. Sampai sekarang kejadian itu masih terbesit dipikiranku dan menjadi pengalaman pertama bersekolah di SMAKBO.
Penulis: Devina Angkawidjaja (SMAKBO Angkatan 63/ Beswan Generasi 6)